google-site-verification: googlee7a7bfcfae2dffe6.html

Kerinduan Bilal bin rabah. Terhadap Rosulullah Saw.



“Sepeninggal Rasulullah, Bilal tidak pernah mau untuk Adzan lagi, dan dia lebih memilih hijrah ke Suriah. Atas permintaan Nabi di dalam mimpi, Bilal berkunjung kembali ke Madinah. Hasan dan Husain meminta Bilal untuk adzan. Ketika sampai kalimat “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, Bilal menangis tersedu sedan dan tidak pernah sanggup melanjutkan Adzan.”

–O–

Rasulullah wafat pada tahun 11 Hijriyah di usianya yang ke 63. Ketika beliau wafat, kabar kesedihan langsung menyebar. Seluruh pelosok Madinah berubah menjadi muram. Anas meriwayatkan, “aku tidak pernah melihat suatu hari yang lebih baik dan lebih terang selain dari hari saat Rasulullah SAW masuk ke tempat kami, dan tidak kulihat hari yang lebih buruk dan lebih muram selain dari hari saat Rasulullah SAW meninggal dunia.”[1]

Begitu pula dengan Bilal bin Rabah, sepeninggal Rasulullah dia dilanda kesedihan yang amat sangat. Dalam Shuwar min Hayaatis Shahabah karya Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya dipaparkan bahwa sejak kepergian Rasulullah SAW, Bilal hanya sanggup mengumandangkan adzan selama tiga hari. Setiap sampai pada kalimat, “Asyhadu anna Muhammadan Rasuulullaahi,” dia langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum Muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.[2]

Riwayat lainnya berkisah, Bilal menemui Abu Bakar (khalifah pertama) dan berkata, “wahai khafilah Rasulullah, aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘amal orang mukmin yang utama adalah berjihad fi sabilillah.’” Abu Bakar bertanya, “jadi apa maksudmu, hai Bilal?” Bilal menjawab, “aku ingin berjuang di jalan Allah sampai aku meninggal dunia.” Lalu, “siapa lagi yang akan menjadi muadzzin bagi kami?” kata Abu Bakar. Dengan air mata berlinang Bilal menjawab, “aku takkan menjadi muaddzin lagi bagi orang lain setelah Rasulullah.”[3]

Kelanjutannya dikisahkan oleh Ibnu ‘Abd al-Barr, seorang ulama madzhab Maliki kelahiran Andalusia tahun 978 M, dalam kitabnya yang berjudul al-Isti’ab,  dikisahkan bahwa sepeninggal Rasulullah Bilal tidak pernah melakukan Adzan lagi. Ibnu ‘Abd al-Barr mengisahkan, “ketika Nabi wafat, Bilal ingin pergi ke Suriah. Abu Bakar menyuruhnya untuk tetap berada dalam pengabdian. Bilal berkata, ‘jika engkau telah membebaskanku untuk dirimu sendiri, maka buatlah saya tertawan lagi; Tapi jika engkau telah membebaskan aku untuk Allah, maka biarkan aku pergi di jalan Allah.’ Abu Bakar meninggalkannya sendirian.”[4]

Setelah Bilal pergi dari Madinah, dia menghabiskan sisa hidupnya di Suriah. Suatu saat Umar bin Khattab (khalifah kedua) berkunjung ke Suriah. Pada kesempatan tersebut orang-orang meminta khalifah untuk memintakan kepada Bilal untuk Adzan untuk satu shalat saja. Konon, itu adalah Adzan terakhir Bilal.[5]

Versi lainnya adalah, Bilal mengumandangkan Adzan terakhirnya di Madinah. Begini kisahnya:

Pada suatu malam yang istimewa di Suriah. Malam di mana saat Bilal sedang tertidur lelap, dia bermimpi didatangi seorang yang sangat dicintainya, seorang teladan sejati. Malam itu, dia bermimpi didatangi  Rasulullah SAW. Dan satu pertanyaan tertuju padanya, “wahai Bilal, mengapa engkau tak pernah mengunjungiku?”[6]

Sontak, Bilal terperanjat. Jantungnya berdebar. Dia terbangun, lalu dengan sigap ia bersiap-siap untuk  menempuh perjalanan ke Madinah. Sesampainya di sana, dia berziarah di makam Nabi Muhammad SAW. Di Kota Madinah yang penuh kenangan bersama Rasulullah SAW, Bilal menangis tersedu menumpahkan rasa rindu. Rindu kepada Sang Nabi SAW yang telah menunjuknya menjadi muaddzin. Saat air mata membasahi pipinya, tiba-tiba datanglah dua orang pemuda berjalan mendekat, mereka adalah cucu Rasulullah SAW, Hasan dan Husain.[7]

Dengan mata sembab Bilal menatap keduanya. Dia bergerak mendekat, memeluk kedua cucu Nabi SAW itu. Salah seorang dari mereka bicara, “paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan untuk kami? Kami ingin mengenang kakek kami, paman.”[8]

Bilal bin Rabah RA yang sudah semakin tua, hatinya luluh, tak kuasa untuk tidak memenuhi permohonan orang-orang yang lama jauh darinya. Dia pun memenuhi permintaan mereka. Ketika waktu shalat telah tiba, dengan pijakkan kaki yang teguh, Bilal menaiki tangga ke tempat di mana dahulu dia biasa mengumandangkan adzan. Ia menarik nafas dalam, memulai suaranya. Lantunan kumandang adzan pun menyapa pendengaran banyak orang.[9]

“Allahuakbar Allahuakbar….” Bilal memulai Adzan, Kota Madinah tiba-tiba saja menjadi senyap. Penduduk Madinah terkejut, suara yang telah hilang selama bertahun-tahun terdengar lagi. Ketika sampai pada kalimat, “Asyhadu an laa ilaha illallah….” orang-orang berlari dari segala penjuru menuju sumber suara itu. “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah…. ” sedu-sedan tangis penduduk Madinah menggema, air mata mereka membanjir. Luapan rindu yang dalam kepada Sang Utusan, Muhammad SAW tak terbendung sudah. Mereka menangis.[10]

Terkenanglah masa-masa saat Rasulullah SAW masih berada di tengah-tengah mereka. Bilal sendiri yang tengah adzan pun tercekat, dia tidak sanggup meneruskannya. Air matanya berderai-derai di pipi. Hari itu, Madinah berluapan rasa rindu nan syahdu. Tak ada pribadi agung yang begitu dicintai seperti Nabi Muhammad SAW. Lantunan adzan Bilal bin Rabah-lah yang memulainya, yang memantiknya menjadi nyala cahaya. Itulah adzan terakhir dalam usia senja sang muadzin pertama dunia. Adzan yang tak pernah dia bisa tuntaskan karena terlalu sedih.[11]

Menjelang Ajal

Menjelang ajalnya di Suriah, Bilal terbaring di atas tempat tidur, sementara istrinya duduk di sampingnya seraya berkata, “sungguh menyedihkan musibah yang kualami!” Bilal mengatakan, “justru inilah saat kebahagiaan dan kesenangan. Tahukah engkau bahwa kematian merupakan sesuatu yang membahagiakan?” Istrinya berkata, “saat perpisahan telah tiba.” Bilal mengatakan, “saat perjumpaan telah datang.”[12]

Istrinya berkata, “malam ini engkau akan pergi ke laut orang-orang asing.” Bilal mengatakan, “jiwaku akan kembali ke tempat asalnya.” Istrinya berkata, “betapa malangnya diriku!” Bilal mengatakan, “betapa bahagianya diriku.” Istrinya bertanya, “setelah ini, kapan aku bisa berjumpa denganmu lagi?” Bilal menjawab, “di taman para kekasih Ilahi (surga).” Istrinya berkata, “dengan kepergianmu, semuanya terasa hancur bagiku.” Bilal mengatakan, “tubuh ini bagai awan yang menyatu dan setelah itu berpisah.”[13] (PH)


0 Response to "Kerinduan Bilal bin rabah. Terhadap Rosulullah Saw."

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel